Come Back

KEKRISTENAN ZAMAN INI SEDANG

DITAWAN OLEH FILSAFAT YANG KOSONG

 Oleh: Dr. Eddy Peter Purwanto, S.Th., M.Th.

 Khotbah ini dikhotbahkan di Kebaktian Chapel Mahasiswa, 8 Februari 2006

Di Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia

 

 Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” (Kolose 2:8).

 

            Ada kelompok tertentu dalam Kekristenan yang dengan lantang menentang segala bentuk filsafat dan menegaskan diri sebagai anti-filsafat, bahkan ada yang anti-teologia. Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah mereka anti-filsafat? Apakah mereka mengerti apa yang mereka sedang katakan? Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada D.L. Moody dan berkata, “Moody, saya tidak setuju dengan metode penginjilan kamu yang syarat dengan teori dan tidak mengandalkan Roh Kudus. Penginjilan yang kami lakukan tidak seperti kamu. Kami hanya mengandalkan Roh Kudus dan tanpa metode-metode seperti yang kamu lakukan.” Dan kemudian Moody menjawab, “Ya, itulah metode Anda, saudaraku!”

 

            Mereka yang berkata anti-filsafat seringkali tidak mengerti apa yang sedang mereka katakan. Walaupun pada prakteknya mereka sedang ditawan oleh filsafat yang kosong. Paradoks memang! Di satu sisi berkata dengan lantang anti-filsafat, namun di sisi lain sedang ditawan oleh filsafat yang kosong. Arti kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani ‘philos’ yang berarti ‘pecinta’, ‘pencari’ dan ‘sophia’ yang berarti ‘hikmat atau pengetahuan. Jadi filsafat berarti ‘mencintai hikmat.’ Menurut Dr. Harry Hamersma, “Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk ‘ber-filsafat’: keheranan, kesangsian dan kesadaran keterbatasan… Keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan mendorong manusia unuk berpikir. Akan tetapi pemikiran ini segera menjadi “metodis”… Menurut Aristoteles pemikiran kita melewati tiga jenis “abstraksi”… Setiap abstraksi menghasilkan salah satu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan “fisis”, pengetahuan “matematis” dan pengetahuan “teologis”. Semua jenis pengetahuan ini menurut Aristoteles masih termasuk filsafat.” (Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Penerbit Kanisius, hal. 11).

 

            Untuk menggambarkan kondisi kekristenan yang ditawan oleh filsafat yang kosong pada zaman ini, saya ingin mengungkapkan empat pemikiran filsafat yang bertikai di masa pra-Socrates sampai zaman Plato. Perdebatan pertama diwakili oleh dua filsuf besar pra-Socrates, yaitu Heraklius dan Parmenides. Heraklius (500-an SM) berkata bahwa segala sesuatu dalam realitas berada dalam proses berfluktuasi dan berubah, sedangkan sebaliknya Parmenides (+ 465 SM) berpendapat bukan perubahan tetapi ke-permanen-an lah yang menjadi sifat realitas. Menilai pertikaian kedua filsuf besar ini menghasilkan sikap skeptisme dari kaum Sophis. Dan Plato hadir justru untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada dengan memunculkan pemikiran dualistiknya.

 

            Saya mau tegaskan kepada Anda bahwa kondisi kekristenan kita pada zaman ini tidak jauh berbeda dengan pertikaian filosofi yang pernah terjadi pada zaman itu. Bahkan saya dapat menggambarkan bahwa ada kelompok-kelompok kekristenan yang merupakan bentuk baru dari keempat kelompok filsuf tersebut. Maksud saya, empat kelompok filsuf tersebut menggambarkan kondisi kelompok-kelompok dalam kekristenan pada zaman ini.

 

            Baiklah. Saya akan memberikan empat type kekristenan zaman ini yang menyerupai empat sistem filosofi dari filsafat pra-Socrates sampai Plato dan satu type kekristenan alkitabiah:

 

I. Kelompok Kristen Bingung

 

Saya menyebutnya dengan kelompok ‘Kristen bingung’, karena menurut saya kelompok ini adalah kelompok yang tidak pernah memiliki pendirian yang pasti. Kelompok ‘Kristen bingung’ merupakan gambaran dari filsafat Heraklius. Seperti telah disebutkan di atas, Heraklius berpendapat bahwa segala sesuatu berada dalam proses, berubah dan berfluktuasi. Heraklius berkata, “Tidak ada orang yang bisa menginjakkan kaki pada aliran sungai yang sama,” tulisnya, “karena aliran itu tak pernah berhenti mengalir, berubah, berpindah oleh air yang baru.” (Dr. T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre).

 

Waktu saya berada di Belanda, saya sempat berdiskusi dengan seorang hamba Tuhan – saya mengasihi hamba Tuhan ini dengan segenap hati saya – hamba Tuhan ini berkata bahwa khotbah itu seharusnya mengalir, mengikuti aliran Roh Kudus. Terus terang saya tidak begitu jelas apa maksudnya. Namun banyak kali saya bertemu dengan orang-orang yang berkata demikian dan jika saya tidak salah mengartikan, maksudnya adalah khotbah tidak memerlukan persiapan materi sedemikian rupa, karena pada waktu kita naik mimbar Roh Kudus akan berbicara dan kita tinggal mengikuti aliran Roh Kudus saja. Saya juga berkata kepada sahabat saya ini bahwa kita tidak akan tahu pasti sebenarnya kita sedang mengikuti aliran pikiran kita sendiri atau aliran Roh Kudus.

 

Mungkin seseorang akan menjawab bahwa aliran itu harus diuji, untuk menunjukkan itu aliran pikiran sendiri atau aliran Roh Kudus. Yang menjadi pertanyaan saya, jika memang demikian kapan kita bisa mengujinya, kalau kita sudah di atas mimbar dan pada saat yang sama harus mengikuti aliran itu serta mengujinya. Dan sekalipun ada kesempatan mengujinya, apa yang menjadi standar yang valid untuk mengujinya.

 

Kekristenan kita di Indonesia kelihatannya juga mengikuti aliran atau arus yang datangnya dari Barat. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa yang datang dari Barat itu tidak baik. Namun menurut saya sebaiknya dicerna terlebih dahulu. Apakah kekristenan kita harus terus berubah mengikuti arus pemikiran yang kita sendiri tidak tahu kemana arah tujuannya. Ada trend topik prophetic semua bicara tentang prophetic. Ada trend baru transformasi, semua bicara transformasi, walaupun kadang-kadang bahkan mereka tidak mengerti apakah pengertian di balik term-term itu. Kekristenan kita seakan tidak memiliki suatu standar yang dapat memprotek kita untuk tidak terombang-ambing oleh anging pengajaran. Itulah yang saya maksud dengan kelompok Kristen bingung.

 

Ini adalah kekristenan yang ditawan oleh filsafat Heraklius, yang terus berubah dan berubah dan tidak menentu arah tujuannya dan tidak tahu di mana kita harus berpijak. Perubahan itu perlu, perubahan itu penting, namun perubahan itu harus menuju ke sesuatu yang lebih baik, atau dalam konsep iman kita perubahan harus membuat kita semakin serupa dengan Kristus.

 

Mereka biasanya mengagungkan apa yang mereka sebut sebagai pengajaran pembentukan karakter dan menganggap teologi sebagai produk manusia (walaupun benar ada teologi tertentu yang merupakan produk manusia semata-mata), dan filsafat sebagai ajaran setan. Yang terpenting dalam kekristenan menurut mereka adalah pembentukan karakter, hal-hal yang bersifat praktis, walaunpun dalam prakteknya karakter yang digembor-gemborkan itu hanyalah menyerupai suatu kemunafikan. Saya pikir tidak ada orang yang karakternya baik, namun lebih mencintai uang dari pada pelayanan, bahkan menganggap gereja sebagai perusahaan yang dapat menghasilkan uang demi kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Ada suatu ketakutan dan bukan bahagia jika ada gereja lain dimulai, karena pikirnya ini akan mengganggu stabilitas dan perkembangan bisnis gerejanya.

 

II. Kelompok Kristen Kepala Batu

 

            Saya menyebutnya sebagai kelompok Kristen kepala batu, karena kelompok ini sepertinya menolak perubahan sama sekali. Kelompok ini sangat kolot mempertahankan warisan sejarah dan ajaran dari nenek moyangnya. Ini adalah kebalikkan dari kelompok Kristen bingung. Warisan sejarah dan ajaran nenek moyang adalah baik, jika warisan itu sesuai dengan Alkitab. Namun ada banyak kelompok yang menganggap warisan sejarahnya bahkan lebih tinggi otoritasnya dari Alkitab, dan menganggap semua yang berbeda dengan dogma gerejanya, atau teologi yang dianut oleh denominasinya adalah tidak alkitbaih, sesat, bidat dll. Kelompok ini sama sekali tidak melihat ada kebenaran di pihak lain, kebenaran ada di pihaknya sendiri. Sepertinya gerejanya adalah satu-satunya penghuni Sorga di masa yang akan datang.

 

Saya menyebut kelompok ini model Parmenides yang berkata bahwa “realitas itu satu, tunggal, tetap, dan tak berubah…. Realitas itu sesuatu yang tunggal, tak berubah, dan dia mencap perubahan sebagai sebuah ilusi… perubahan hanyalah penampilan yang diterima oleh indra” (Dr. T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre). Kita memiliki lima panca indra; mata, penciuman, lidah, telinga dan kulit. Indra itulah yang membuat ilusi perubahan menurut Parmenides. Tidak ada perubahan gelap dan terang, jika kita tidak memiliki mata. Tidak ada perubahan panas dan dingin jika kita tidak memiliki indra peraba (kulit). Tidak ada perubahan suara jika kita tidak memiliki indra pendengar (telinga). Tidak ada perubahan wangi atau busuk jika kita tidak memiliki indra penciuman (hidung), dan sebagainya.

 

Kelompok Kristen ala Parmenides melihat segala perubahan sebagai ilusi belaka. Apa yang mereka maksud dengan back to the Bible sebanarnya adalah back to the dogma. Jika ‘kelompok Kristen bingung’ mengagung-agungkan apa yang mereka sebut pengajaran karakter, sebaliknya ‘kelompok Kristen kepala batu’ sangat mengagung-agungkan doktrin dan teologi dan tidak sedikit yang mengabaikan karakternya. Tidak peduli bagaimana praktek hidupnya, karakternya, kelakukannya, yang penting doktrinnya benar. Sehingga tidak heran kelompok ini lebih menyerupai Farisi abad modern.

 

Dr. A. W. Tozer berkata: “Pada zaman ini ada Rasionalisme Injili (dan bahkan Fundamentalis)  yang tidak ada bedanya dengan rasionalisme yang diajarkan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka berkata bahwa kebenaran ada di dalam perkataan dan jika anda ingin mengetahui kebenaran, pergilah kepada guru (rabi) dan belajar kata perkata dalam Alkitab. Jika kamu mempelajari kata per kata dalam Alkitab, kamu memiliki kebenaran, [walaupun tidak mengalaminya, red.]. Ini adalah Rasionalisme Injili, dan situasi fundamental yang kita hadapi hari ini… Kita tidak bisa lepas dari konsep pikiran seperti ini. Ini menjadi doktrin bahwa ketika kamu mempelajari teks Alkitab dengan sendirinya kamu memiliki kebenaran. (A. W. Tozer, Faith Beyond Reason, "Revelation is Not Enough," Christian Publications, 1989, p. 20).

 

Dr. A. W. Tozer melanjutkan, “Tidaklah cukup jika saya hanya sekedar mempertahankan kitab yang diinspirasikan di tangan saya. Saya harus memiliki hati yang diterangi oleh Tuhan. Ini berbeda dengan pendirian kokoh Rasionalis Injili [dan fundamentalis]  yang menegaskan bahwa wahyu saja sudah cukup. (A. W. Tozer, ibid., hal. 22).

 

Dan Dr. R.L. Hymers, mengiyakan pernyataan ini dan berkata, “Janganlah anda membuat kesalahan. Nikodemus adalah rasionalis fundamentalis. Ia percaya setiap kata dalam Alkitab – tetapi ia tidak menghidupi iman di dalam Allah dan tidak lahir baru…. Salah satu akar permasalahan orang Farisi adalah mereka tidak memiliki kehidupan secara pribadi dengan Allah. Mereka semua tahu tentang Allah dari orang kedua, dari doktrin Alkitab. Mereka percaya Alkitab – tetapi mereka tidak hidup di dalamnya, aktif dan berinteraksi dengan Allah…. Iman yang sesungguhnya bukan sekedar percaya bahwa Allah ada. Iman yang sesungguhnya percaya di dalam Allah sendiri! Anda harus datang kepada Allah! Percaya ayat-ayat Alkitab tidak sama dengan percaya di dalam Tuhan… Seperti orang Farisi yang baik, Nikodemus percaya Alkitab. Ia percaya bahwa Alkitab diperlihara Allah, tidak ada salah, dan Firman Allah yang diilhamkan. Tetapi ia tidak memiliki hidup beriman kepada Allah, hanya kepada Dia!”( Why Believing in the KJV is not Enough, khotbah di Baptist Tabernacle of Los Angeles, 23 Maret 2003)

 

 

III. Kelompok Kristen Peragu

 

Dr. T. Z. Lavine berkata, “Pihak yang menanggapi konflik filosofis antara Heraklius dan Parmenides adalah kaum Sophis… Kaum Sophis berpendapat bahwa karena pemikiran menghasilkan konflik seperti yang dihadapi Heraklius dan Parmenides, kita harus meragukan kekuatan pikiran untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian kaum Sophis merupakan pendukung pertama skeptisme, posisi filsafat yang masih meragukan adanya kemungkinan bagi pengetahuan sejati apapun. Protagoras yang paling terkenal di antara kaum Sophis, menciptakan argumen skeptis karena tak ada cara unuk menentukan kebenaran mengenai realitas.” (Dr. T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre).

 

            Sama dengan kaum Sophis, ‘kelompok Kristen peragu’ menanggapi konflik yang terjadi antara ‘Kristen bingung’ dan ‘Kristen kepala batu’ dan kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa tidak ada kebenaran yang sejati, kebenaran adalah relatif, maka lahirlah apa yang disebut dengan relativisme dalam kekristenan. Mereka sering berkata demikian, “Kata si A dia alkitabiah, kata si B, dia juga alkitabiah, kata si C dia juga alkitbiah, jadi kata si A sampai si Z semuanya berkata alkitabiah. Jadi sebenarnya yang mana yang alkitabiah?” Karena kebingungan ini mereka menyimpulkan, “Ya kalau demikian semuanya alkitabiah dan semuanya tidak alkitabiah. Terserah masing-masing orang memandangnya.”

 

            Lihatlah orang ini sudah tertawan oleh filsafat dari Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) yang dikenal sebagai nabi dari postmedernisme dan sekaligus yang menciptakan akar dari teologi “Allah mati.” Nietzsche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” Pandangan Nietzsche ini diperjelas oleh C.S. Lewis ketika ia berkata, “My good is my good, and your good is your good”  (kebaikanku adalah kebaikanku, dan kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau kalau orang Jakarta bilang, “gue ya gue, lo ya lo”. Kebenaran, bagi generasi postmodern adalah relatif, tidak absolut.

 

Kaum Sophis bukan hanya kumpulan skeptis, namun menurut Plato mereka adalah “pemilik warung yang menjual barang rohani.” Kelompok ini memperoleh kritikan tajam terutama dari Sokrates, Plato dan Aristoteles. Tuduhan yang ditujukan kepada mereka adalah bahwa mereka meminta imbalan uang atas pengajaran yang mereka berikan.

 

‘Kristen peragu’ lahir oleh karena mereka tidak mau masuk ke dalam konflik, sama dengan ‘Kristen kompromis’ yang akan kita bahas setelah ini. Seperti layaknya kaum Sophis tidak sedikit mereka yang bergelar S.Th. yang merupakan singkatan dari ‘Sarjana Tukang hitung’. Mereka mulai mengkalkulasi biaya pemasukan dan pengeluaran jika kebetulan ada tiga undangan khotbah yang bersamaan. “Jika saya khotbah di gereja A, saya akan dapat amplop yang isinya Rp. 350.000,- , biaya bensin dan tol sekitar Rp.100.000,-, jadi sisa yang akan saya peroleh adalah Rp. 250.000,-. Jika saya khotbah di gereja B saya akan dapat amplop yang isinya Rp. 300.000,-, namun karena dekat rumah tidak ada pengeluaran apa-apa. Sedangkan jika saya khotbah di gereja C, isi amplop yang akan saya peroleh Rp. 250.000,- dan pengeluaran untuk bensin sekitar Rp. 50.000,-, jadi masih sisa Rp. 200.000,-. Maka kalau begitu saya harus menerima undangan dari gereja B, dan menolak undangan dari gereja A dan C, dengan alasan bahwa saya sudah ada jadwal di tempat lain.” Ini adalah pengkhotbah dengan gelar “S.Th.”  atau “filsuf Sophis”.

 

IV. Kelompok Kristen Kompromis

 

Berbeda dengan kaum Sophis, Plato menanggapi perdebatan antara Heraklius dan Parmenides dengan mencoba untuk mendamaikan keduanya. Ia tidak ingin menyinggung Heraklius mau pun Parmenides, dan ia justru menawarkan titik temu dari kedua pemikiran filsafat yang bertikai itu. Ia mengungkapkan dalam filsafat dualistiknya. Ia berpendapat bahwa ada dua realm, yaitu dunia ide dan dunia materi. Dunia ide bersifat tetap dan tidak berubah, namun materi adalah bentuk dari ide yang terus mengalami perubahan. Jadi kesimpulannya baik Heraklius maupun Parmenides sama-sama benar, hanya saja mereka melihat realitas dari sisi yang berbeda. Parmenides melihat dari realita ide, sedangkan Heraklius memandang realita dari dunia materi, yang sebenarnya jika dipandang dari dua sisi secara bersama-sama keduanya tidak saling bertentangan, namun justru saling melengkapi. Itulah kira-kira drama perdamaian yang diciptakan Plato untuk mendamaikan dua kelompok filsuf yang bertikai.

 

‘Kristen kompromis’ yang saya maksud di sini adalah kelompok kekristenan yang telah ditawan oleh filsafat Platonik. Saya mengatakan bukan dalam arti yang sebenarnya atau literal, namun dalam arti tipologi. ‘Kristen kompomis’ adalah anti-tipe dari filsafat Plationik. Kelompok ini biasanya mencoba untuk mendamaikan semua gerakan atau aliran teologi yang bertikai dengan mengatakan, “Tidak usah berdebatlah. Semuanya benar, semuanya dari Alkitab. Hanya masing-masing kita memandang dari sudut yang berbeda, sama seperti enam orang buta mendefinisikan gajah saja.”

 

Perdamaian atau rekonsiliasi selalu berarti mengembalikan kepada bentuk yang semula, atau yang sebenarnya (re berarti ‘kembali’, council berarti ‘hubungan’). Ini kembali kepada satu bentuk yang semula atau sebenarnya, dan bukan beberapa bentuk. Gaya berteologi di atas bukanlah usaha untuk ‘memperdamaikan’ atau ‘rekonsiliasi’ dalam arti yang sebenarnya, namun lebih tepat disebut sebagai ‘kompromi’. Minyak dan air tidak akan pernah bersatu dipandang dari sudut mana pun juga. Persatuan bisa terjadi bila ada kesamaan karakter.

 

Ketika mengomentari I Raja-Raja 22:7, Matthew Henry berkata, “Persatuan tidak selalu menunjukkan gereja yang benar atau pelayanan yang benar. Di sini ada 400 orang yang bernubuat dengan satu pikiran dan satu perkataan, dan akhirnya semuanya itu salah. Yosafat tidak dapat mempercayai khotbah singkat ini; ini bukan apa yang ia inginkan. Bagaimanapun juga nabi-nabi palsu tidak dapat meniru yang asli, ia [Yosafat] adalah orang yang memiliki kepekaan rohani  yang dapat melihat pikiran yang salah, dan oleh sebab itu ia meminta nabi Tuhan untuk bersamanya. (Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, volume 2, Hendrickson Publishers, 1996 reprint, p. 545).

 

Kalau demikian kelompok Kristen yang bagaimana yang merupakan Kristen sejati itu?

 

V. Kelompok Kristen Alkitabiah

 

            Ekstrim, sombong memang kedengarannya jika ada orang yang mengatakan dirinya adalah ‘kelompok Kristen Alkitabiah’. Saya minta Anda jangan apriori terlebih dahulu. Maksud ‘Kristen Alkitabiah’ di sini sama sekali tidak berbicara dari aliran atau denominasi apa, namun kelompok Kristen yang telah teruji secara alkitabiah, tidak peduli apa nama denominasi gerejanya. Kelompok ini sedih melihat “Kristen bingung’. Karena apa? Karena mereka melihat ‘kristen bingung’ seperti seonggok daging tanpa tulang. Jadi menyerupai suatu mahkluk yang aneh.

 

            Dr. W.A. Criswell pernah berbicara tentang kata doktrin. Ia berkata, “Sekarang, kata-kata ini menarik dan penuh dengan arti: kata  "doktrin," didaskalia . Kata bahasa Yunani untuk "mengajar" adalah didasko: "mengajar." Ia didaskalos berarti ia "seorang pengajar." Mereka mengalamatkan istilah ini untuk Yesus: Ia adalah didaskalos, "guru, pengajar." Dan, didaskalia adalah berhubunga dengan "apa yang diajarkan."  Ini adalah doktrin itu. Ini adalah ajaran itu…. Dalam bahasa Latin, Anda menyebutnya "doktrin." Seorang dokter adalah seorang guru. Lama sebelum mereka mempunyai dokter medis, "para dokter" berhubungan dengan para hamba Tuhan, para pengajar hukum Yahudi, hukum gereja, hukum kanoni -dokter, doktrin, didaskalia. Didaskalos, adalah pengajar. Sedangkan doktrin adalah ajarannya…. Doktrin, Pengajaran, adalah segalanya – penting… doktrin adalah dasar di mana hidup kita dibangun di atasnya… Doktrin adalah penting. Doktrin di dasarkan pada seluruh Firman Tuhan dan Wahyu Allah.   Struktur tulang pada tubuh kitalah yang memungkinkan tubuh kita dapat berdiri tegak lurus dan berbentuk dan bergerak…. Kita akan menjadi makhluk aneh tanpa susunan kerangka ini, tanpa struktur tulang ini. Ini adalah hikmat Allah, Insinyur teragung di dalam alam semesta, yang telah menciptakannya: Suatu rongga tengkorak yang menjaga otak; suatu rongga dada yang menjaga dan melindungi dan sebagai wadah paru-paru dan jantung; susunan tulang belakang yang memungkinkan kita dapat berdiri tegak lurus; tulang paha sebagai daya penggerak; tumit dan tulang telapak kaki untuk berjalan; tulang pergelangan tangan dan tulang telapak tangan untuk dapat memegang.” (Dr. W.A. Criswell, Adorning the Doctrine of Christ, Video, Criswell Foundation).

 

            Apa yang dimaksudkan oleh Dr. Criswell adalah bahwa jika kekristenan kering akan doktrin (tentu doktrin dalam pengertian yang sesungguhnya) dan hanya menggembar-gemborkan praktis atau pembentukan karakter (yang bukan dalam arti yang sebenarnya), bagaikan seonggok daging tanpa kerangka tulung. Bagimana mungkin bisa berdiri tegak, bagaimana mungkin terhilat cantik. Hidung yang mancung karena ada tulangnya, bagaimana kalau hidung tanpa tulang. Oleh sebab itu, “Kristen Alkitabiah” sedih melihat saudaranya si “Kristen bingung” ini. Ia juga sedih melihat “Kristen kepala batu” yang hanya mengagung-agungkan doktrin, namun praktek hidupnya bertentangan dengan doktrinnya sendiri, bertentangan dengan Alkitab. Kristen yang seperti ini akan terlihat sangat mengerikan. Bagaimana tidak, karena ia hanyalah suatu kerangka tulang dan tengkorak tanpa daging. ‘Kristen kepala batu’ hanya mengutamakan kerangka doktrin, kerangka tulang dan tengkorak, oleh sebab itu, ini akan sangat mengerikan untuk dipandang orang. Menyedihkan sekali saudara ‘Kristen kepala batu’ kita ini.

 

            ‘Kristen Alkitabiah’ juga sedih melihat saudaranya yang adalah “Kristen peragu’, karena ia selalu meragukan segala sesuatu. Ia tidak tahu kemana harus melangkah, bahkan meragukan dirinya sendiri. Tidak percaya diri. Begitu juga ‘Kristen kompromis’ yang tidak ada bedanya dengan ‘Kristen peragu.”

 

            “Kristen Alkitabiah” adalah yang menganggap bahwa doktrin itu sangat penting, walaupun sekecil apapun doktrin itu, namun ia juga menunjukkan karakter dan kelakuan hidupnya sesuai dengan doktrinnya. Ia adalah suatu susunan tulang (doktrin) yang kokoh dan dibalut dengan daging (praktis) sehingga nampak menjadi suatu ciptaan yang unik dan indah. Inilah yang dimaksud Firman Tuhan, “supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita” (Titus 2:10). “Kristen Alkitabiah” juga tidak menjadi peragu. Ia percaya ada kebenaran yang absolut, yaitu Alkitab sendiri. Tuhan Yesus berkata “Firman-Mu adalah kebenaran” (Yohanes 17:17). Ia juga tidak mengkompromikan kebenaran dan ketidakbenaran walaupun sekecil apa pun juga.

 

            Bagaimana menjadi “Kristen Alkitabiah”?

 

II Timotius 1: 13 mengatakan, “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus.” Frase “contoh ajaran yang sehat” ini dalam terjemahan King James Version “the form of sound words.” Jadi Anda lihat di sini bahwa “Firman Allah mempunyai bentuk (form). Marilah kita memperhatikan kata ini. Bentuk.  Hupotupaio adalah sketsa (delineate), garis besar (outline). Dan bentuk substantif dari kata kerja ini, hupotuposis adalah summary, outline, pattern, model, type.  Dr. W.A. Criswell berkata, “Ketika seseorang mengkhotbahkan Alkitab, ia menyampaikan seluruh nasehat dari Allah, ada yang muncul keluar dari khotbahnya, ada yang muncul – apa yang ia sebut di sini – yang King James Version terjemahkan “a form”… Ada muncul pattern. Ada muncul model. Ada muncul ringkasan. Ada muncul presentasi doktrinal yang agung, tesis teologikal yang agung.” (Dr. W.A. Criswell, The Form of Sound Words, Video Sermons, Criswell Foundation).

Dr. W.A. Criswell, melanjutkan, “Ada hal-hal yang pasti yang Firman Allah ajarkan, dan ketika Anda menyampaikan seluruh Firman Allah, outline ini menjadi sangat berbeda. Dan pattern ini menjadi sangat jelas dan sangat mudah difahami. Untuk menyatakan seluruh nasehat Allah dan mempresentasikan seluruh Firman Allah, di sana akan muncul – sekarang, marilah kita membuat perbandingan. Marilah berbicara tentang gambar sebuah bintang yang sempurna dengan lima sudutnya [p]. Perhatikan gamba bintang ini, sepanjang setiap sudutnya sama -- sepanjang setiap garisnya sama panjang, Anda dapat merancang gambar bintang ini sedemikian rupa, tetapi hasilnya akan selalu tetap sama…. Pada bagian dalamnya, Anda dapat menemukan sepuluh ribu hal yang berbeda. Tetapi sepanjang sudut-sudutnya sama, dan garis-garisnya sama panjang, bintang itu akan memiliki bentuk yang tetap sama.” (Dr. W.A. Criswell, The Form of Sound Words, Video Sermons, Criswell Foundation).

Jadi intinya untuk menjadi “Kristen Alkitabiah”, Anda harus mempelajari Alkitab dengan segenap hati, dan dari sana akan muncul suatu bentuk, dan bangunlah iman Anda di atas bentuk yang muncul dari Alkitab itu, dan bukan bentuk oleh karena mengikuti aliran pikiran yang entah kemana tujuannya, bukan bentuk yang diwariskan oleh nenek moyang (kecuali jika warisan bentuk itu muncul dari Alkitab), bukan bentuk oleh karena kekecewaan, keraguan, dan kebingunan, bukan bentuk oleh karena ingin diterima oleh berbagai kalangan, namun bentuk yang muncul dari Alkitab ketika mempelajari Alkitab dengan seksama dan dengan hati yang tulis mencari kebenaran dan tunduk pada pengajaran Roh Kudus.